Jumat, 05 Agustus 2016

Materi Atresia ani

ATRESIA ANI


Hasil gambar untuk gambar atresia ani A.   PENGERTIAN
Merupakan suatu kelainan malformasi kongenital dimana terjadi ketidaklengkapan perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus. Lokasi terjadinya anus imperforata ini meliputi bagian anus, rektum, atau bagian di antara keduanya. (A. Aziz Alimul Hidayat, 2011)
Imperforata  ani (atrisia ani) adalah tidak komplitnya perkembangan embrionik pada distal usus (anus) atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suryadi & Rita Yuliani, 2010. Abdullah Royyan, 2012)
Imperforata anus adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar. (Donna L. Wong, 2003)
Merupakan suatu kelainan bawaan dimana tidak ada lubang tetap pada anus. (Weni Kristiyanasari, 2011)
Malforasi kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi anus, rektum atau batas di antara keduanya.  Ada dua klasifikasi anus imperforata, berhubungan dengan penempatan ujung distal kolon (rektum). Yaitu :
1.    Anus imperforata tinggi, rektum berakhir di atas suspensorium puborektal, kompleks otot utama pengendali sfingter dan defekasi.
2.    Anus imperforata rendah, rektum melintasi suspensorium puborektal, dengan lokasi abnormal di perineum.
(Betz, Cecily L, 2002)

B.   ETIOLOGI
1.    Secara pasti belum diketahui.
2.  Merupakan anomaly gastrointestinal dan genitourinary.

C.    PATOFISIOLOGI
1.    Terdapat dua tipe yaitu tipe letak tinggi yang mana terdapat penghalang diatas otot leverator ani. Tipe letak rendah adalah adanya penghalang dibawah otot lareverataor ani.
2.    Anus dan rectum berkembang dari ambrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang jadi kloaka yang merupakan bakat genitourinary dan struktur anorektal.
3.    Terjadi steanosis anal karena adanya penyempita pada kanal anorektel.
4.    Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu dalam perkembangan fetal.
5.    Gangguan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesisi sacral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
6.    Tidak ada pembukaan usus besar  yang keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi.

D.   MANIFESTASI KLINIS
1.    Kegagalan lewatnya mokonium saat atau setelah lahir.
2.    Tidak ada atau steanosis kanal.
3.    Adanya membran anal.
4.    Fistula eksternal pada perineum
5.    Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
6.    Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi
7.    Mekonium keluar melalui fistula atau anus yang salah letaknya.
8.    Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula)
9.    Kembung yang progresif
10.    Kadang-kadang disertai :muntah-muntah pada umur 24-48 jam
11.    Urin bercampur mekonium

E.    KOMPLIKASI
1.      Asidosis hiperkloremia
2.      Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan
3.      Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4.      Komplikasi jangka panjang :
a.         Eversi mukosa anal
b.        Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c.         Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasinya sigmoid)
d.        Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training
e.         Inkontinensia (akibat stenosis anal atau impaksi)
f.          Prolaps mukosa anorektal (menyebabkan inkontinensia dan rembesan persisten)
g.         Fistula kambuhan (karena tegangan di area pembedahan dan infeksi)

F.    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.    Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan dignostik yang umum dilakukan pada gangguan ini.
2.    Jika fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksaadanya sel-sel epithelial mkonium.
3.   Pemeriksaan sinar-X lateral inverse ( tehnik Wangensteen-Rice) dapat menunjukan adanya kumpal udara dalam ujung rectum yang buntu pada atau didekat perium; dapat menyelesatkan jika rectum penuh dengan mekonium yang mencegah udara sampai ke ujung kantong rectal

G.   PENATALAKSANAAN
Jalan terbaik untuk klien dengan atrisia ani adalah dengan dilakukan pembedahan :
1.    Kolostomi
2.    Transversokolostomi (kolostomi dikolon tranversum)
3.    Sigmoidostomi (kolostomi dikolon sigmoid)
4.    Bentuk yang aman adalah daoudlebarret atau lran ganda.
5.    Lakukan colok dubur untuk mengetahui secara pasti keadaan anus.

H.   KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1.    Pengkajian
a.    Kaji bayi setelah lahir ; pemeriksaan fisik
b.    Tanpa mekonium dalam 24 jam setelah lahir
c.     Gunakan termometer rektal untuk menentukan kepatenan rektal
d.    Adanya tinja dalam urine, dan vagina
e.    Kaji psikososial keluarga
f.      Observasi adanya pasase mekonium. Perhatikan bila mekonium tampak pada orivisium yang tidak tepat.
g.    Observasi feses yang seperti karbon pada bayi lebih besar atau anak kecil yang mempunyai riwayat kesulitan defekasi atau distensi abdomen.

2.    Diagnosa Keperawatan
a.    Prapembedahan :
1)  Kekurangan volume cairan b/d keluaran yang berlebihan (muntah)
2)  Kecemasan b/d  kurangnya informasi mengenai prosedur pembedahan.
b.    Pasca bedah :
1)  Nyeri b/d terputusnya kontinuitas jaringan pada anus (luka post operasi).
2)  Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kurangnya intake.
3)  Resiko infeksi b/d inflamasi (luka post operasi).

3.    Intervensi
a.    Prapembedahan :
1)  Kekurangan volume cairan b/d keluaran yang berlebihan (muntah)
Intervensi :
§  Monitor status hidrasi (tanda dehidrasi dan keseimbangan cairan)
§  Pertahankan intake cairan sesuai dengan kebutuhan
§  Monitor BB
§  Kolaborasi dengan tim medis dalam rencana pembedahan

2)  Kecemasan b/d  kurangnya informasi mengenai prosedur pembedahan.
Intervensi :
§  Kaji sejauh mana kurangnya informasi yang dibutuhkan
§  Jelaskan tentang prosedur persiapan operasi dan proses, dan hal-hal yang harus dilakukan setelah operasi pembedahan.
§  Kaji kemampuan koping keluarga dalam menghadapi pembedahan yang dilakukan pada anak.
b.    Pasca bedah :
1)  Nyeri b/d terputusnya kontinuitas jaringan pada anus (luka post operasi).
Intervensi :
§  Berikan rendam duduk pasca pembedahan 1 mingu lebih.
§  Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan pasien
§  Berikan zinkum oksida pada daerah kulit yang mengalami iritasi.
§  Lakukan kolaborasi dalam pemberian analgetik.
2)  Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kurangnya intake.
Intervensi :
§  Lakukan monitoring terhadap bising usus, apabila sudah mulai kedengaran berikan cairan.
§  Berikan diet lanjutan lengkap sesuai dengan toleransi.
§  Monitor asupan parenteral, interal atau oral.
§  Lakukan monitoring berat badan.
3)  Resiko infeksi b/d inflamasi (luka post operasi).
Intervensi :
§  Lakukan penggantian balutan dan perhatikan adanya dreinase, kemerahan, serta adanya inflamasi
§  Bershkan daerah anal untuk mencegah kontaminasi feses.
§  Ganti posisi bayi setiap 2 jam
§  Monitor tanda-tanda infeksi sistemik dan lokal
§  Lakukan kolaborasi dalam pemberian antibiotiok.



DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily L. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri E/3. Jakarta : EGC
Hidayat, A. Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Hidayat, A. Alimul. 2011. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika
Kristiyanasari, Weni. 2011. Asuhan Keperawatan Neonatus Dan Anak. Yogyakarta : Nuha Medika
Royyan, Abdullah. 2012. Asuhan Keperawatan Klien Anak. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Suriadi & Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : CV Sagung Seto
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik E/4. Jakarta : EGC

2 komentar: